Wednesday 24 June 2009

OMBAK BERBISIK


Deburan ombak tak henti-hentinya bersautan, menyapa keheningan malam di sekeliling pantai, memanggil para nelayan untuk segera berlayar menuju ke ke-dinginan yang sempurna, dari sederet gubuk-gubuk kecil di sepanjang pantai. Disitu tinggal seorang gadis mungil yang mempunyai keunikan pada matanya yang biru bersama Bapak yang keras dan Ibunya yang sangat menyayanginya.
“Salma….”
“Salma…. Kamu dimana nak?”
Saat gadis itu masih tercengang menyaksikan deburan ombak dan semilir angin malam yang menusuk jantung, sepintas ia mendengar suara ibunya memanggil.
“Salma….”
“ya.” Bu Salma datang.
“Salma, malam-malam begini kemana saja kamu nak? ibu teramat khawatir padamu sayang” kata ibu itu sambil memeluk erat anak semata-wayangnya.
“Ada apa Bu?, Salma baik-baik saja kok, Salma cuma jalan-jalan sebentar”, kata gadis itu sambil mencoba untuk menenangkan hati ibunya yang sedang gelisah.
“Baiklah, sekarang ayo kita pulang!”. Ibunya mengajak pulang dengan nada ketakutan. Sesampainya dirumah pun ibu itu tetap saja memandang putrinya dengan pandangan ketakutan.
“Bu, ada apa? Cobalah untuk tenang bu, sekarang ibu cerita pada Salma, apa yang terjadi?.”
“Hghmmm…”, tiba-tiba suara si-bapak terdengar dari depan yang sedang menyiapkan jaring karena mau berangkat berlayar berjalan masuk.
“Ada apa ini?, Salma… cepat buatkan bapak kopi”, kata si-bapak dengan nada kasarnya sambil memandang mereka berdua. Namun Salma tidak segera beranjak pergi karena ia masih ingin mndengar jawaban dari ibunya
“Salma….!” Bentak si-bapak
“iya…iya, pak”dengan takutnya ia langsung lari ke dapur
dan dalam pikiran gadis itu masih bertanya-tanya tentang keadaan ibunya. Sambil menaruh secangkir kopi di atas meja sebelah bapaknya duduk. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya pada bapaknya
“Pak, ibu itu kenapa sih, Salma kok ndak ngerti, apa yang sedang terjadi sama ibu?”
“Ya, semalam ibumu berteriak memanggil-manggil namamu. Entahlah bapak juga gak tahu. Sudahlah Salma jangan tanya bapak, tanya ibumu sana!” jawabnya dengan nada melemah
“Pak, Salma kan cuma….”
“Salma, pergi!”, bentak bapak itu dan hamper saja menyiramkan kopi panas itu ke putrinya dan Salma pun berlari ke pantai sambil menangis.
“Salma…. Jangan pergi nak, Salma….!”, teriak ibu memanggil anaknya yang pergi menuju pantai.
“Bapak! Bapak ini kenapa sih?”bentak ibu itu pada suaminya dan ibu itu mengejar anaknya yang terus berlari sambil menangis
“Salma…. Jangan pergi ke pantai nak, ibu mohon jangan!”, kata ibu seraya menarik tangan putrinya agar tidak pergi ke pantai tetapi anak itu menolak untuk diajak pulang dan tetap ingin pergi.
“Bu, Salma ndak ingin pulang, Salma ingin sendirian di pantai, Salma bahagia bersama ombak , Salma benci dengan rumah….”.
“Salma, jangan sekali lagi kau ucapkan kata-kata itu nak, mimpi ibu begitu nyata. Ombak setiap kali berbisik memanggilmu, dia menginginkan kehadiranmu”.
“Maksud ibu?”
“Sudahlah Salma, tak akan ada maksud dari mimpi ibu itu, ibu hanya mengkhawatirkan keadaanmu”, ibu itu meyakinkan putrinya dengan memeluknya erat-erat.
“Salma, sudahlah ini sudah larut, ayo kita pulang!”, ajak ibu memaksa dan akhirnya dengan berat hati ia pun ikut pulang bersama dekapan ibunya.

Dibalik ombak putih sinar mentari menyambut pagi, bersinar cerah tersenyum pada kehidupan.
Pagi itu Salma segera ke pantai tanpa sepengetahuan ibu. Disana ia pun berlari dan mengambil koral putih lalu dilemparkan koral itu pada ombak yang datang lalu ia berteriak sekencang-kencangnya ia berharap agar ombak mau mendengarkan teriakannya itu.
“Ombak…., apa yang kau inginkan dariku?, kenapa kau selalu saja memanggilku setiap hari. Ombak…., apa yang kau pinta dariku?”.
Tiba-tiba teriakan itu terhenti oleh air mata dan isakan tangisnya.
“Maaf, kamu kenapa?”.
Ia pun terperanjat dan terkejut mendengar suara laki-laki yang tiba-tiba saja berdiri dibelakangnya.
“Kenapa kamu menangis?”.tanya lelaki yang seumuran dengan gadis itu seakan-akan ia telah mengetahui apa yang sedang dialami oleh gadis itu
“Siapa kamu?”, ia pun kembali bertanya sambil mundur beberapa langkah.
“Perkenalkan, namaku Dharma”. Sambil menjulurkan tangan yang disambut ramah oleh sinar mentari pagi dan debur ombak, tetapi tidak bagi tangan Salma.
“Aku tak menginginkan kehadiran siapapun disini karena takkan ada orang yang mengerti bahwa ombak selalu memanggilku dan hadir dalam mimpi-mimpi ibuku. Dia berbisik, berbisik menginginkan kehadiranku”.
“Ombak tak pernah berbisik, ia tak pernah menginginkan kehadiranmu, ia hanya menginginkan kebaikanmu dan perlindunganmu. Jika kau ingin selalu mendengarkan deburannya, maka tengoklah, cegah yang buruk sebelum menimpanya”.
Setelah ia berkata-kata, ia pun meninggalkan gadis itu yang masih dalam keadaan tercengang oleh kata-katanya.
“ Tunggu!, Namaku Salma”.
Diapun berbalik dan hanya meninggalkan senyum pada gadis itu. Setelah itu ia baru sadar dan tahu kalau mimpi itu hanyalah pesan untuknya agar tetap menyayangi dan melindungi laut dari kerusakan, ia pun segera pulang dan menceritakan pada ibunya yang sedang sibuk memasak sambil menyiapkan ikan-ikan hasil tangkapan bapak yang mau di bawa ke pasar
“Ibu…ibu…, Dharma telah menjelaskan semuanya padaku”.
Ibunya pun terharu karena ia tidak pernah melihat anaknya se-gembira pagi itu akhir-akhir ini
“Dharma? Dharma siapa?” Tanya ibunya semakin penasaran
“Dharma, ya dia itu bu yang mengartikan mimpi-mimpi ibu. Dia telah mengartikan semua mimpi itu, mimpi itu bukanlah apa-apa, tapi ombak telah berpesan pada kita, jika dipikir-pikir sudah bertahun-tahun nelayan di kampung ini telah membuat rakitan bom maupun racun untuk menangkap ikan-ikan di laut dan ombak hanya menginginkan perlindunganku bu, perlindungan kita”.
“hmhmm… syukurlah nak kalau begitu, kita memang harus tetap mencintai laut itu dan menjaganya dari kerusakan karena kita bisa makan sehari-hari juga dari laut” kata ibu sambil membelai rambut putrinya yang lurus kemerah-merahan itu.
Keesokan paginya, ia melihat dari jendela rumah kayunya dan telah terlihat Dharma berdiri di tepi pantai, kemudian ia pun bergegas berlari mendekatinya.
“Kamu…Dharma?”
“O…. kamu yang kemarin itu kan?”, dia pun balik bertanya dengan senyuman setengah meledek.
“Ya, aku hanya ingin minta maaf atas kata-kataku yang kasar terhadapmu kemarin”.
“Sudahlah, ndak apa-apa aku ngerti kok”.
“Dharma,” panggilnya agak malu-malu
“Ya…?”
“Maukah kamu mengartikan mimpi-mimpiku yang semalam?”. Sambil menundukkan muka yang memerah karena disaksikan oleh mentari pagi, ombak pun wira-wiri, dan angin pantai yang sepoi-sepoi pun ikut meledeknya
“Maaf, aku bukan orang yang ahli dalam mengartikan mimpi, dan yang kemarin itu mungkin hanya kebetulan saja, memangnya….kamu mimpi apa semalam?”
“Aku mimpi kalau kau telah berbisik padaku, bukan lagi ombak. kau telah berbisik dalam mimpiku untuk hadirku dalam hidupmu”.



Hendi Solihuddin
S. Inggris
052154251
May 22nd 2009

No comments:

Post a Comment