Wednesday 24 June 2009

SEMANGAT DI WARUNG KOPI

Ditemani secangkir kopi, rokok di sela-sela jari, di pagi hari yang ber-asap. Asap yang mengepul dari mulut Ari dan kolega-nya, cangkir kopi, dan tungku dari bagian belakang warung Mak Jamil. Kepulan asap dari spot-spot warung Mak Jamil kiranya telah menjadi salah satu sumbangan polusi udara bagi kampung Balongwojo selain dari cerobong asap pabrik terasi yang terletak tidak jauh dari warung mak Jamil. Karena aktifitas keseharian dari warung Mak Jamil hanyalah sebagai tempat penampungan para pemuda pengangguran sukarela yang masing-masing dengan rela menghabiskan waktu hanya untuk se-cangkir kopi, dan puluhan batang rokok untuk menemani alunan gitar, langkah-langkah buah catur dan kartu-kartu yang berserakan.

Mungkin Mak Jamil merasa bosan karena setiap hari harus melihat mereka, atau mungkin ia merasa khawatir akan anak gadisnya yang se-umur-an dengan Ari, akan meniru jejak Ari. Di belakang warung,Mak Jamil berbisik

“Nak, kamu pengen ndak…emmm hidup kayak yang dijalanin Ari gitu?” Tanya Mak Jamil dengan nada sedih

“Maksud Emak apaan sih?” Erka pun balik bertanya kebingungan

“Ah… ndak kok, Emak cuman gak mau kalau anak Emak hidup susah setelah sepeninggal Emak nanti” tegas Mak Jamil dengan senyum kecut

“Ah!!! Emak ini kenapa sih kok ngomongnya jadi ngawur gini?” dengan perasaan takut dan penasaran yang bercampur ia membalas senyum ibunya dan segera bergegas menemui Ari.

Tiba-tiba Erka menyambar tangan Ari yang sedang asyik menyulut rokok dan menariknya sambil tertawa riang, dan mereka berlari menuju sebuah pohon besar di depan pabrik terasi yang memberikan suasana kesejukan di wilayah pabrik terasi itu

“Ri’, aku pengen ngomong ma kamu” celotehnya dengan kegirangan

“emangnya kamu nggak pernah ngomong apa?” ejek Ari dengan wajah penasaran

“bneran nih…. Srius…. Please….!!!”

“ok… ok… emang kamu mau ngomong apa sih, kok keliatannya serius banget? Kamu mau dikawinkan yaa…? hahaha” sahutnya sambil meledek

“ehmmm… ayo donk Ri’, ni tentang Anshori, kamu inget nggak? dia…”

“knapa dia nglamar kamu ya? Hahaha bener kan dugaan ku?”

“bukan….”

“truz, apa donk?kamu di jodohkan dan kamu gag mau gitu?”

“bukaaan… makanya diem dulu donk!!! Maen nyrocos aja. Gini lho, kemaren tuh aku ngobrol banyak banget ma Anshori, crita mengenang masa-masa SMA tiga tahun yang lalu, truz tiba-tiba dia tanya tentang kamu lho… ” dia balik meledek Ari

“emangnya kenapa kalo dia nanya aku?” Tanya Ari dengan nada cuek

“hehehe… cemburu ni…?”

“cemburu apaan? Emang dia nanya apa aja tentang aku?”

“cieee… penasaran ni…?” ledekan pun bertubi-tubi dilancarkan oleh Erka

“nggak bangettt kali, ya sudah kalo kamu gag mau crita ya sudah” dengan nada kesal sambil terus manyambung rokok yang baru saja habis dihisapnya

“ya, ya, ya, aku critain, dia tuh ternyata dari dulu udah ng-fans berat lho ma kamu, malah…”

“ng-fans moyangmu?” selanya

“bener…, malah dia tuh dulu katanya sudah sempet mau nembak kamu, waktu itu kamu abis olahraga, masih inget nggak? dia datang dari belakangmu setelah dia panggil namamu tiba-tiba ada bogem yang menimpa mukanya sampai dia pingsan? Hayooo bogem siapa tuh?”

“hmm…hmmm… ndak bener nih… pazti ada yang ndak bener nih, dia crita soal itu juga? Lagian aku nggak tau kalo dia mau, nembak aku katanya? Waktu itu ada suara dari belakangku dan aku tidak sengaja menoleh dengan cepat, ternyata ada muka yang udah menempel di bogemku ini” sambil menunjukkan tangannya -untuk ukuran seorang perempuan- yang berotot.

Setelah sekian lama bercengkerama di bawah pohon, mereka pun kembali ke warung, dan ternyata di warung sudah ada Anshori yang memang sengaja ingin bertemu dengan Ari yang sudah berpisah sekitar tiga tahun. Setelah tahu bahwa Ari setiap hari ada di warung Erka teman sekelasnya waktu SMA dulu, dia langsung menemuinya di warung itu

“hai, kalian dari mana?” Anshori menyambut kedatangan mereka berdua

Sementara Erka sengaja diam agar pertanyaan Anshori tersebut dijawab oleh Ari

“oh, kita… dari jalan-jalan kok” jawab Ari sambil menggerak-gerakkan sikunya ke Erka

“Ka’ kamu dari mana saja? Temanmu sudah dari tadi nungguin kamu”

“sbentar ya aku ambil minum dulu”

Mereka lalu duduk di sebelah warung, ada sebuah tempat tongkrongan yang terbuat dari bambu yang biasa di pakai anak-anak muda minum kopi, bermain kartu,bermain gitar dan menyayi dan lain-lain, termasuk Ari juga yang biasa nongkrong di sana. Sementara Erka sedang asyik ngobrol dengan ibunya di belakang warung sambil membuat minum untuk teman-temannya.

“nak, kamu jadilah anak yang baik ya! Jangan kayak Temanmu Ari itu…”

“maksut Emak apa? Memangnya Ari itu anaknya nggak baik gitu?”

“bukan seperti itu, tapi emak ingin kamu jadi orang yanglebih berguna dari si Ari itu, nggak cuman nongkrong aja tiap harinya. Emak ingin kamu jadi anak yang pinter, mengerti, dan giat agar kamu jadi orang yang sukses ndak seperti emakmu sama bapakmu ini”

“sudahlah Mak, jangan menjelek-jelekkan orang kayak gitu, pokoknya aku janji aku akan jadi anak yang berbakti kepada Emak dan Bapak, meskipun bapak kayak gitu”

Mak Jamil tentu tidak mengharapkan anak gadisnya yang semata wayang itu menjadi anak yang gagal. Meskipun Mak Jamil hanyalah seorang penjual kopi dan nasi pecel, istri seorang pemabuk yang tak mempunyai pekerjaan yang layak untuk menghidupi seorang istri dan anak, sejak kecil beliau tak pernah mengenal dunia pendidikan, tetapi semangat beliau dalam menjunjung tinggi derajat putrinya tetap menjulang.

Hendi Solihuddin

Sastra Inggris

052154251

June 17th 2009

OMBAK BERBISIK


Deburan ombak tak henti-hentinya bersautan, menyapa keheningan malam di sekeliling pantai, memanggil para nelayan untuk segera berlayar menuju ke ke-dinginan yang sempurna, dari sederet gubuk-gubuk kecil di sepanjang pantai. Disitu tinggal seorang gadis mungil yang mempunyai keunikan pada matanya yang biru bersama Bapak yang keras dan Ibunya yang sangat menyayanginya.
“Salma….”
“Salma…. Kamu dimana nak?”
Saat gadis itu masih tercengang menyaksikan deburan ombak dan semilir angin malam yang menusuk jantung, sepintas ia mendengar suara ibunya memanggil.
“Salma….”
“ya.” Bu Salma datang.
“Salma, malam-malam begini kemana saja kamu nak? ibu teramat khawatir padamu sayang” kata ibu itu sambil memeluk erat anak semata-wayangnya.
“Ada apa Bu?, Salma baik-baik saja kok, Salma cuma jalan-jalan sebentar”, kata gadis itu sambil mencoba untuk menenangkan hati ibunya yang sedang gelisah.
“Baiklah, sekarang ayo kita pulang!”. Ibunya mengajak pulang dengan nada ketakutan. Sesampainya dirumah pun ibu itu tetap saja memandang putrinya dengan pandangan ketakutan.
“Bu, ada apa? Cobalah untuk tenang bu, sekarang ibu cerita pada Salma, apa yang terjadi?.”
“Hghmmm…”, tiba-tiba suara si-bapak terdengar dari depan yang sedang menyiapkan jaring karena mau berangkat berlayar berjalan masuk.
“Ada apa ini?, Salma… cepat buatkan bapak kopi”, kata si-bapak dengan nada kasarnya sambil memandang mereka berdua. Namun Salma tidak segera beranjak pergi karena ia masih ingin mndengar jawaban dari ibunya
“Salma….!” Bentak si-bapak
“iya…iya, pak”dengan takutnya ia langsung lari ke dapur
dan dalam pikiran gadis itu masih bertanya-tanya tentang keadaan ibunya. Sambil menaruh secangkir kopi di atas meja sebelah bapaknya duduk. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya pada bapaknya
“Pak, ibu itu kenapa sih, Salma kok ndak ngerti, apa yang sedang terjadi sama ibu?”
“Ya, semalam ibumu berteriak memanggil-manggil namamu. Entahlah bapak juga gak tahu. Sudahlah Salma jangan tanya bapak, tanya ibumu sana!” jawabnya dengan nada melemah
“Pak, Salma kan cuma….”
“Salma, pergi!”, bentak bapak itu dan hamper saja menyiramkan kopi panas itu ke putrinya dan Salma pun berlari ke pantai sambil menangis.
“Salma…. Jangan pergi nak, Salma….!”, teriak ibu memanggil anaknya yang pergi menuju pantai.
“Bapak! Bapak ini kenapa sih?”bentak ibu itu pada suaminya dan ibu itu mengejar anaknya yang terus berlari sambil menangis
“Salma…. Jangan pergi ke pantai nak, ibu mohon jangan!”, kata ibu seraya menarik tangan putrinya agar tidak pergi ke pantai tetapi anak itu menolak untuk diajak pulang dan tetap ingin pergi.
“Bu, Salma ndak ingin pulang, Salma ingin sendirian di pantai, Salma bahagia bersama ombak , Salma benci dengan rumah….”.
“Salma, jangan sekali lagi kau ucapkan kata-kata itu nak, mimpi ibu begitu nyata. Ombak setiap kali berbisik memanggilmu, dia menginginkan kehadiranmu”.
“Maksud ibu?”
“Sudahlah Salma, tak akan ada maksud dari mimpi ibu itu, ibu hanya mengkhawatirkan keadaanmu”, ibu itu meyakinkan putrinya dengan memeluknya erat-erat.
“Salma, sudahlah ini sudah larut, ayo kita pulang!”, ajak ibu memaksa dan akhirnya dengan berat hati ia pun ikut pulang bersama dekapan ibunya.

Dibalik ombak putih sinar mentari menyambut pagi, bersinar cerah tersenyum pada kehidupan.
Pagi itu Salma segera ke pantai tanpa sepengetahuan ibu. Disana ia pun berlari dan mengambil koral putih lalu dilemparkan koral itu pada ombak yang datang lalu ia berteriak sekencang-kencangnya ia berharap agar ombak mau mendengarkan teriakannya itu.
“Ombak…., apa yang kau inginkan dariku?, kenapa kau selalu saja memanggilku setiap hari. Ombak…., apa yang kau pinta dariku?”.
Tiba-tiba teriakan itu terhenti oleh air mata dan isakan tangisnya.
“Maaf, kamu kenapa?”.
Ia pun terperanjat dan terkejut mendengar suara laki-laki yang tiba-tiba saja berdiri dibelakangnya.
“Kenapa kamu menangis?”.tanya lelaki yang seumuran dengan gadis itu seakan-akan ia telah mengetahui apa yang sedang dialami oleh gadis itu
“Siapa kamu?”, ia pun kembali bertanya sambil mundur beberapa langkah.
“Perkenalkan, namaku Dharma”. Sambil menjulurkan tangan yang disambut ramah oleh sinar mentari pagi dan debur ombak, tetapi tidak bagi tangan Salma.
“Aku tak menginginkan kehadiran siapapun disini karena takkan ada orang yang mengerti bahwa ombak selalu memanggilku dan hadir dalam mimpi-mimpi ibuku. Dia berbisik, berbisik menginginkan kehadiranku”.
“Ombak tak pernah berbisik, ia tak pernah menginginkan kehadiranmu, ia hanya menginginkan kebaikanmu dan perlindunganmu. Jika kau ingin selalu mendengarkan deburannya, maka tengoklah, cegah yang buruk sebelum menimpanya”.
Setelah ia berkata-kata, ia pun meninggalkan gadis itu yang masih dalam keadaan tercengang oleh kata-katanya.
“ Tunggu!, Namaku Salma”.
Diapun berbalik dan hanya meninggalkan senyum pada gadis itu. Setelah itu ia baru sadar dan tahu kalau mimpi itu hanyalah pesan untuknya agar tetap menyayangi dan melindungi laut dari kerusakan, ia pun segera pulang dan menceritakan pada ibunya yang sedang sibuk memasak sambil menyiapkan ikan-ikan hasil tangkapan bapak yang mau di bawa ke pasar
“Ibu…ibu…, Dharma telah menjelaskan semuanya padaku”.
Ibunya pun terharu karena ia tidak pernah melihat anaknya se-gembira pagi itu akhir-akhir ini
“Dharma? Dharma siapa?” Tanya ibunya semakin penasaran
“Dharma, ya dia itu bu yang mengartikan mimpi-mimpi ibu. Dia telah mengartikan semua mimpi itu, mimpi itu bukanlah apa-apa, tapi ombak telah berpesan pada kita, jika dipikir-pikir sudah bertahun-tahun nelayan di kampung ini telah membuat rakitan bom maupun racun untuk menangkap ikan-ikan di laut dan ombak hanya menginginkan perlindunganku bu, perlindungan kita”.
“hmhmm… syukurlah nak kalau begitu, kita memang harus tetap mencintai laut itu dan menjaganya dari kerusakan karena kita bisa makan sehari-hari juga dari laut” kata ibu sambil membelai rambut putrinya yang lurus kemerah-merahan itu.
Keesokan paginya, ia melihat dari jendela rumah kayunya dan telah terlihat Dharma berdiri di tepi pantai, kemudian ia pun bergegas berlari mendekatinya.
“Kamu…Dharma?”
“O…. kamu yang kemarin itu kan?”, dia pun balik bertanya dengan senyuman setengah meledek.
“Ya, aku hanya ingin minta maaf atas kata-kataku yang kasar terhadapmu kemarin”.
“Sudahlah, ndak apa-apa aku ngerti kok”.
“Dharma,” panggilnya agak malu-malu
“Ya…?”
“Maukah kamu mengartikan mimpi-mimpiku yang semalam?”. Sambil menundukkan muka yang memerah karena disaksikan oleh mentari pagi, ombak pun wira-wiri, dan angin pantai yang sepoi-sepoi pun ikut meledeknya
“Maaf, aku bukan orang yang ahli dalam mengartikan mimpi, dan yang kemarin itu mungkin hanya kebetulan saja, memangnya….kamu mimpi apa semalam?”
“Aku mimpi kalau kau telah berbisik padaku, bukan lagi ombak. kau telah berbisik dalam mimpiku untuk hadirku dalam hidupmu”.



Hendi Solihuddin
S. Inggris
052154251
May 22nd 2009